Friday 31 January 2014

Geologi Batuan


-  Dip Slip Faults adalah patahan yang bidang patahannya menyudut (inclined) dan pergeseran relatifnya berada disepanjang bidang patahannya atau offset terjadi disepanjang arah kemiringannya. Sebagai catatan bahwa ketika kita melihat pergeseran pada setiap patahan, kita tidak mengetahui sisi yang sebelah mana yang sebenarnya bergerak atau jika kedua sisinya bergerak, semuanya dapat kita tentukan melalui pergerakan relatifnya. Untuk setiap bidang patahan yang yang mempunyai kemiringan, maka dapat kita tentukan bahwa blok yang berada diatas patahan sebagai “hanging wall block” dan blok yang berada dibawah patahan dikenal sebagai “footwall block”. 

- Normal Faults adalah patahan yang terjadi karena gaya tegasan tensional horisontal pada batuan yang bersifat retas dimana “hangingwall block” telah mengalami pergeseran relatif ke arah bagian bawah terhadap “footwall block”. 

- Horsts & Gabens Dalam kaitannya dengan sesar normal yang terjadi sebagai akibat dari tegasan tensional, seringkali dijumpai sesar-sesar normal yang berpasang pasangan dengan bidang patahan yang berlawanan. Dalam kasus yang demikian, maka bagian dari blok-blok yang turun akan membentuk “graben” sedangkan pasangan dari blok-blok yang terangkat sebagai “horst”. Contoh kasus dari pengaruh gaya tegasan tensional yang bekerja pada kerak bumi pada saat ini adalah “East African Rift Valley” suatu wilayah dimana terjadi pemekaran benua yang menghasilkan suatu “Rift”. Contoh lainnya yang saat ini juga terjadi pemekaran kerak bumi adalah wilayah di bagian barat Amerika Serikat, yaitu di Nevada, Utah, dan Idaho.


Gambar 1
Sesar / Patahan Normal
yang disebabkan oleh gaya tegasan tensional horisontal, 
dimana hangingwall bergerah kebagian bawah dari footwall 



Gambar 2
Rangkaian patahan normal
sebagai hasil dari gaya tegasan tensional horisontal yang 
membentuk “Horst” dan “Graben”.


- Half-Grabens adalah patahan normal yang bidang patahannya berbentuk lengkungan dengan besar kemiringannya semakin berkurang kearah bagian bawah sehingga dapat menyebabkan blok yang turun mengalami rotasi.


Gambar 3
Patahan normal yang bidang patahannya
berbentuk lengkungan dengan besar 
bidang kemiringannya semakin mengecil kearah bagian bawah.




Gambar 4
Berbagai jenis patahan normal s
ebagai hasil dari gaya tegasan tensional horisontal .


- Reverse Faults adalah patahan hasil dari gaya tegasan kompresional horisontal pada batuan yang bersifat retas, dimana “hangingwall block” berpindah relatif kearah atas terhadap “footwall block”.


Gambar 5 
Reverse Fault sebagai hasil dari gaya tegasan kompresional,
 dimana bagian hangingwall
bergerak relatif kebagian atas dibandingakan footwallnya


- A Thrust Fault adalah patahan “reverse fault” yang kemiringan bidang patahannya lebih kecil dari 150. . Pergeseran dari sesar “Thrust fault” dapat mencapai hingga ratusan kilometer sehingga memungkinkan batuan yang lebih tua dijumpai menutupi batuan yang lebih muda.



Gambar 6
Thrust Fault adalah suatu patahan “reverse fault”
yang bidang patahannya mempunyai kemiringan kurang dari 150 

- Strike Slip Faults adalah patahan yang pergerakan relatifnya berarah horisontal mengikuti arah patahan. Patahan jenis ini berasal dari tegasan geser yang bekerja di dalam kerak bumi. Patahan jenis “strike slip fault” dapat dibagi menjadi 2(dua) tergantung pada sifat pergerakannya. Dengan mengamati pada salah satu sisi bidang patahan dan dengan melihat kearah bidang patahan yang berlawanan, maka jika bidang pada salah satu sisi bergerak kearah kiri kita sebut sebagai patahan “left-lateral strike-slip fault”. Jika bidang patahan pada sisi lainnya bergerak ke arah kanan, maka kita namakan sebagai “right-lateral strike-slip fault”. Contoh patahan jenis “strike slip fault” yang sangat terkenal adalah patahan “San Andreas” di California dengan panjang mencapai lebih dari 600 km.


Gambar 7 
Strike Slip Fault adalah patahan
yang pergerakan relatifnya berarah horisontal mengikuti arah patahan



Gambar 8 
Peta sebaran batuan yang memperlihatkan pergeseran (off set) batuan
disepanjang bidang patahan mendatar (strike slip fault)
jenis “left-lateral strike-slip fault”
dimana blok kiri bergerak relatif ke selatan
dan blok kanan bergerak relatif ke utara. 


- Transform-Faults adalah jenis patahan “strike-slip faults” yang khas terjadi pada batas lempeng, dimana dua lempeng saling berpapasan satu dan lainnya secara horisontal. Jenis patahan transform umumnya terjadi di pematang samudra yang mengalami pergeseran (offset), dimana patahan transform hanya terjadi diantara batas kedua pematang, sedangkan dibagian luar dari kedua batas pematang tidak terjadi pergerakan relatif diantara kedua bloknya karena blok tersebut bergerak dengan arah yang sama. Daerah ini dikenal sebagai zona rekahan (fracture zones). Patahan “San Andreas” di California termasuk jenis patahan “transform fault”.


Gambar 9 
Patahan jenis “Transform-Fault”
hanya terjadi diantara batas kedua pematang samudra

GREEN HOUSE

Green building adalah sebuah pendekatan konstruksi yang dapat diterapkan bagi bangunan publik dan komersial serta rumah yang di tinggali. Hal tersebut membantu dalam setiap langkah untuk desain dan konstruksi, memilih situs bangunan untuk menginstal sistem pemanas.

Green building secara bergantian digambarkan sebagai bangunan yang berkelanjutan, dan akhirnya hal ini dapat menjadi cara yang lebih akurat untuk melihat hal itu Bangunan hijau sangat beragam seperti orang-orang yang tinggal di dalamnya. Tidak ada pola tunggal untuk rumah kaca. Tapi meskipun bangunan hijau mungkin terlihat berbeda dari luar, desain mereka didasarkan pada tiga prinsip yang umum: 

- Efisiensi energi — Rumah menggunakan energi yang sangat minim. Setiap penggantian energi, bentuk energi    yang diperbaharui harus menggantikan bahan bakar fosil dimana energy tersebut tidak dapat diperbaharui. 

- Konservasi sumber daya alam — Tujuannya adalah untuk menghemat sumber daya alam yang terbatas.      Meskipun ada begitu banyak kayu, benih tumbuhan dan air, dan sumber daya lainnya. Kita harus    menggunakannya secara bijak. Melalui hal ini, dampak buruk bagi lingkungan menjadi rendah dan semua    langkah kecil yang dilakukan penting bagi sebuah rumah.

- Kualitas udara dalam ruangan yang baik. Green homes dirancang untuk menjadi rumah yang sehat. Sebuah   rumah sehat yang bebas dari kelembaban, jamur, atau masalah radon. Bahan bangunan, perabot, cat yang    tidak harus meninggalkan sisa berupa racun dan iritasi udara di dalam ruangan. Bahkan, meskipun udara di  dalam rumah sudah bersih, rumah membutuhkan ventilasi mekanis yang menjamin aliran udara segar.

Untuk memahami lebih jauh tentang rumah hijau maka adapun penjelasan tentang rumag hijau (green house) adalah sebagai berikut:

A. Rumah Hijau

KONSEP membangun rumah yang hijau dan berwawasan lingkungan menjadi tuntutan dewasa ini. Dengan penerapan konsep ini, Anda bisa mengurangi pemborosan energi dan berujung pada menghambat efek pemanasan global.

Meningkatnya efek pemanasan global yang mengakibatkan bumi semakin panas dan buruk bagi kehidupan makhluk hidup di planet bumi tentu membuat bergidik. Sebenarnya proses pemanasan bumi terjadi akibat ulah manusia juga. Banyak aktivitas kita sehari- hari yang pada akhirnya malah menyumbangkan “panas” pada bumi. Manusia dengan berbagai cara akhirnya berupaya mengatasi dampak pemanasan global. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menciptakan hunian yang lebih hijau (green house) atau ramah lingkungan (eco-friendly house). Pada dasarnya, rumah hijau menerapkan konsep rumah hemat energi, terutama banyak memanfaatkan pengudaraan dan pencahayaan alami untuk mengurangi ketergantungan pada penggunaan pendingin ruangan. 

Selain itu, konsep rumah hijau termasuk meminimalisasi penggunaan sumber daya alam ketika proses pembangunan rumah, memilih material bangunan yang ramah lingkungan, keberadaan taman dalam rumah, serta memilih lampu hemat energi yang tepat guna sehingga menghemat penggunaan listrik secara efisien. Untuk membangun hunian jenis ini juga tidak memerlukan biaya tinggi.

Menurut Gary Olp dari GGO Architecs, membangun rumah hijau yang sesuai budget cukup sederhana, yaitu hanya berpijak pada akar desain arsitektur yang baik. “Ketika Anda membangun rumah dengan keterampilan dan sebuah tujuan, dengan sering dirawat dan dijaga, membuat rumah bertahan lebih lama. Desain yang bagus dan cantik merupakan bagian besar dari konsep rumah berkelanjutan (sustainable homes),” tuturnya, seperti dikutip dari laman Buildipedia.

Dasar-dasar pada desain bangunan dan konsep rumah berkelanjutan adalah, keduanya fokus pada ketahanan. Jika suatu bangunan dirancang secara baik, maka tidak akan dipisahkan dari sifat utama hunian dengan konsep hijau itu sendiri. “Rancangan yang baik dan bangunan hijau adalah sama dan satu kesatuan. Itulah cara yang tepat untuk membangun,” kata Pete von Ahn dari von Ahn Design, LLC.

“Anda harus melihat melebihi dari harga jual dan memahami dampak jangka panjang dari apa yang Anda beli. Menantang diri sendiri untuk menemukan nilai terbaik, walaupun produk tersebut mungkin tampak serupa dengan yang lain, jangan menganggap semua hal adalah sama,” imbuh Bill Worthen, anggota American Institute of Architects. Von Ahn menyatakan, rumah yang dibangun dengan baik memperhitungkan rencana sebuah desain, seperti produk, material, dan metodologi konstruksi. Dia percaya bahwa kembali ke bahan-bahan dasar alami menjadikan rumah lebih hijau, lebih sehat, dan lebih hemat energi dengan biaya pemeliharaan yang lebih rendah dan mengurangi biaya pembangunan.

“Ini akan mengeluarkan biaya yang sangat kecil, tapi dapat menghasilkan penghematan yang signifikan pada sumber kehidupan di rumah,” tambah von Ahn. 

Daniel Sandomire, wakil direktur Armstrong Development Ltd, setuju tentang hal itu. “Pada akhirnya, lebih hemat biaya untuk jangka panjang dalam membangun rumah hijau. Ketika Anda membandingkan biaya yang sebenarnya, pendekatan rumah yang berkelanjutan jauh lebih hemat biaya,” tandasnya. Von Ahn menjelaskan, desain penempatan khusus (sitespecific design) mungkin merupakan cara yang paling efektif untuk membangun rumah hijau yang sesuai anggaran. “Ketika Anda berpikir tentang bagaimana merancang dan membangun rumah sebelum kita memiliki teknologi modern, biasanya bangunan dibentuk melalui pikiran,” katanya. “Dari desain rumah awal, lokasi bangunan, bahan yang digunakan, rumah akan dirancang dengan memaksimalkan material, pandangan, dan ventilasi,” ujar von Ahn. Dia menjelaskan bahwa terkait pencahayaan yang utama, rumah umumnya dirancang dengan mengeluarkan cahaya alami dan ventilasi, serta bahanbahan alami yang bersumber dari daerah lokal karena keterbatasan pengangkutan. Sama seperti penggunaan teknologi canggih dan material yang sering dipakai, penekanan pada desain, lokasi bangunan yang jelek, dan detail yang tidak memadai menyebabkan masalah pada pemeliharaan serta daya tahan rumah. “Salah satu cara terbaik untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menemukan lokasi yang optimal untuk bangunan dan desain rumah khusus yang tepat,” kata von Ahn. Eric Corey Freed, pendiri dan ketua organic ARCHITECT, juga menekankan pentingnya desain penempatan khusus dan struktur bangunan berorientasi lingkungan yang spesifik.

Salah satu hal yang penting dari rumah hijau adalah kesan rumah hijau, penjelasan mengenai kesan rumah hijau adalah sebagai berikut:

Kesan dan Punca Rumah Hijau
Kesan rumah hijau merupakan satu fenomena yang berlaku kerana pencemaran udara. Kesan rumah hijau berlaku kerana pemerangkapan haba oleh gas-gas rumah hijau. Antara beberapa jenis gas rumah hijau yangbiasa didapati ialah karbon dioksida, sulfur dioksida dan oksida nitrogen.
Sejarah kesan rumah hijau bermula pada zaman Revolusi Perindustrian. Pada zaman inilah manusia mula menggunakan bahan api fosil secara meluas. Ini menyebabkan kandungan karbon dioksida bertambah. Gas-gas ini akan bertindak seperti selimut yang membenarkan haba masuk kemudian akan memerangkap haba ini. Haba yang terperangkap inilah yang akan meningkatkan suhu pada permukaan bumi.
Kesan rumah hijau mengakibatkan:
1.      Kenaikan paras laut
·    Misalnya kenaikan paras laut di Artik dan Antartika yang disebabkan oleh pencairan ketulan-ketulan ais menyebabkan kejadian banjir di kejadian banjir di kawasan persisiran pantai seperti yang berlaku di bandar-bandar persisiran Bangladesh.
·      Pelimpahan masuk air laut ke kawasan pertanian dan meninggikan saliniti (kemasinan) tanah. Ini menjadikannya kurang sesuai untik pertanian.
2.      Perubahan iklim
·        Perubahan arah angin dan arus menyebabkan bencana alam seperti ribut dan taufan.
·      Kejadian iklim ekstrim di mana kemarau dan banjir berlaku dengan tidak diduga seperti di Africa. Ini mengurangkan penghasilan hutan dan pertanian.
·   Perubahan taburan hujan dan sumber air yang menyukarkan kebolehdapatan air tawar. Ini membawa masalah kepada pertanian dan penghutanan.
3.      Kesihatan manusia terganggu
·     Perubahan suhu boleh menyebabkan 'heatwave' di beberapa tempat dan penduduk kawasan terutamanya penduduk tua boleh mengalami 'heatstroke'.

·         Kekurangan air tawar dan kejadian banjir boleh menyebabkan air yang digunakan tercemar dan seterusnya mengakibatkan penyakit seperti cirit-birit.
4.      Kegiatan harian manusia dan penempatan manusia terganggu
·      Pemindahan zon-zon iklim dan gerakan air laut serta kejadian banjir boleh menjejaskan kegiatan menangkap ikan dan haiwan akuatik lain.
·          Bencana alam seperti ribut dan kemarau juga mengakibatkan gangguan bekalan elektrik.
·     Penduduk yang tinggal di kawasan tanah di pinggir laut kadang kala perlu ditempatkan di kawasan lain kerana banjir.

Punca Berlaku Kesan Rumah Hijau adalah sebagai berikut:

Faktor semula jadi seperti letusan gunung berapi yang membebaskan pelbagai gas antaranya sulfur dan oksida. Faktor manusia yaitu melakukan pencemaran dan membebaskan pelbagai gas seperti karbon dioksida,karbon monoksida,nitrogen oksida,CFC,halon dan sebagainya.Gas-gas inilah yang membentuk satu layer atau lapisan yang menghalang pembalikan sinaran ultraunggu matahari secara semula jadi.Lapisan ini juga akan menyebabkan gas yang lain turut berkumpul di lapisan ini.
1.             Membebaskan gas berbahaya daripada kilang,kereta dan sebagainya.(pencemaran udara)
2.             Menggunakan alatan yang membebaskan CFC .
3.            Penggunaan racun serangga serta baja kimia turut membebaskan gas kesan rumah hijau
4.           Penternakan berskala besar turut membebaskan gas ammonia yang menyumbang pencemaran alam sekitar serta membentuk kesan rumah




Monday 27 January 2014

Tipe Jembatan, Struktur Jembatan Dan Jembatan Komposit

A. Tipe-Tipe Jembata

Berdasarkan fungsinya dibedakan sebagai berikut :
  • Jembatan jalan raya (highway bridge)
  • Jembatan jalan kereta api (railway bridge)
  • Jembatan pejalan kaki atau penyeberangan (pedestrian bridge).
Berdasarkan lokasinya, jembatan dapat dibedakan sebagai beriku :
  • Jembatan di atas sungai atau danau
  • Jembatan di atas lembah
  • Jembatan di atas jalan yang ada (fly over)
  • Jembatan di atas saluran irigasi/drainase (culvert)
  • Jembatan di dermaga (jetty).
Berdasarkan bahan konstruksinya, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain :
  • Jembatan kayu (log bridge)
  • Jembatan beton (concrete bridge)
  • Jembatan beton prategang (prestressed concrete bridge)
  • Jembatan baja (steel bridge)
  • Jembatan komposit (compossite bridge).
Berdasarkan tipe strukturnya, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain :
  • Jembatan plat (slab bridge)
  • Jembatan plat berongga (voided slab bridge)
  • Jembatan gelagar (girder bridge)
  • Jembatan rangka (truss bridge)
  • Jembatan pelengkung (arch bridge)
  • Jembatan gantung (suspension bridge)
  • Jembatan kabel (cable stayed bridge)
  • Jembatan cantilever (cantilever bridge).

B. Struktur jembatan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu struktur atas dan struktur bawah

  • Struktur Bawah (Substructures)

Struktur bawah jembatan berfungsi memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain yang ditumbulkan oleh tekanan tanah, aliran air dan hanyutan, tumbukan, gesekan pada tumpuan dsb. untuk kemudian disalurkan ke fondasi. Selanjutnya beban-beban tersebut disalurkan oleh fondasi ke tanah dasar.

Struktur bawah jembatan umumnya meliuputi :
  1. Pangkal jembatan (Abutment)
  2. Dinding belakang (Back wall)
  3. Dinding penahan (Breast wall)
  4. Dinding sayap (Wing wall)
  5. Oprit, plat injak (Approach slab)
  6. Konsol pendek untuk jacking (Corbel)
  7. Tumpuan (Bearing)
  8. Pilar jembatan (Pier)
  9. Kepala pilar (Pier Head)
  10. Pilar (Pier), yg berupa dinding, kolom, atau portal
  11. Konsol pendek untuk jacking (Corbel)
  12. Tumpuan (Bearing)
  • Struktur Atas (Superstructures)

Struktur atas jembatan merupakan bagian yang menerima beban langsung yang meliputi berat sendiri, beban mati, beban mati tambahan, beban lalu-lintas kendaraan, gaya rem, beban pejalan kaki, dll.

Struktur atas jembatan umumnya meliputi :

1. Trotoar :
  • Sandaran dan tiang sandaran
  • Peninggian trotoar (Kerb)
  • Slab lantai trotoar
2. Slab lantai kendaraan
3. Gelagar (Girder)
4. Balok diafragma
5. Ikatan pengaku (ikatan angin, ikatan melintang)
6. Tumpuan (Bearing)

Konstruksi komposit (composite structure) adalah konstruksi gabungan dari material yang berbeda jenis, dimana terdapat kerjasama antara kedua bahan tersebut dalam memikul beban. Umumnya konstruksi merupakan gabungan antara material beton dan material baja yang secara teknis direncanakan untuk menerima beban-beban yang sangat besar seperti pada bangunan jembatan.

Suatu struktur gelagar jembatan yang menggabungkan antara bahan baja dan beton dapat dikategorikan sebagai konstruksi komposit apabila antara kedua bahan tersebut (pelat beton dan balok baja) terjadi aksi komposit (composite action) yang baik. Kondisi tersebut dapat dicapai dengan memasang alat penghubung geser (shear connector) pada bidang kontak antara baja dan beton. Bila aksi komposit dapat dicapai dengan baik, maka akan diperoleh efisiensi dimensi gelagar (stringer) yang lebih ekonomis dari bangunan.

  • Kelebihan Sistem Komposit
  1. Profil baja dapat dihemat mencapai 20 – 30 % dibandingkan dengan balok non komposit.
  2. Penampang atau tinggi profil baja lebih rendah, sehingga dapat mengurangi atau menghemat tinggi lantai (storey height) pada bangunan gedung dan tinggi ruang bebas (clearance) pada bangunan jembatan.
  3. Kekakuan lantai pelat beton bertulang semakin tinggi karena pengaruh komposit (menyatu dengan gelagar baja), sehingga pelendutan pelat lantai (komposit) semakin kecil.
  4. Panjang bentang untuk batang tertentu dapat lebih besar, artinya dengan sistem komposit baja dan beton, untuk penampang yang sama, mempunyai momen pikul yang lebih besar.
  5. Kapasitas daya pikul beban bertambah dibandingkan dengan pelat beton yang bebas di atas gelagar baja.
  • Kekurangan Sistem Komposit
Selain keuntungan-keuntungan tersebut di atas, terdapat pula kerugian atau kekurangan dari konstruksi komposit, yaitu untuk balok komposit statis tak tentu, aksi komposit kurang berfungsi pada penampang yang memikul momen negative dimana pada daerah momen lentur negatif hanya tulangan beton yang memikul gaya tarik. Dengan demikian, maka perlu ada pembatasan dalam aksi komposit terutama pada lebar efektif dan rasio modulus elastisitas, mengingat pengaruh kontinuitas dan lendutan jangka panjang.

Monday 20 January 2014

Groundwater Control During Excavation



Groundwater control in rock can take many forms depending on the nature and extent of the problem. In fact, for many cases experience has proven that a combination of control methods may be the best solution. For a given tunnel it may also be found that different solutions apply at different locations along the alignment.


1. Dewatering at the Tunnel Face

Dewatering at the tunnel face is the most common method of groundwater control. This consists simply of allowing the water to drain into the tunnel through the face, collecting the water, and taking it to the rear by channels or by pumping. It then joins the site water disposal system. Note that if there are hydraulic or other leaks or spills at the TBM or other equipment in the tunnel such contaminants are in this water.


2. Drainage Ahead of Face from Probe Holes

Probe holes ahead of the tunnel may be placed to verify the characteristics of the rock and hence to provide information for machine operation and control. These holes will also predrain the rock and provide warning of (and drain) any methane, hydrogen sulfide or any other gas, petroleum, or contaminant that may be present. In areas where there are such known deposits of gas or other contaminants it is common (and recommended) practice to keep one or more probe holes out in front of the machine. When such materials are encountered, the probes alert the workers to the need to increase the frequency of gas readings, to increase the volume of ventilation or to take other steps as required to avoid the problem of unexpected or excessive gas in the tunnel.


3. Drainage from Pilot Bore/Tunnel

Pilot tunnels can provide a number of benefits to a larger tunnel drive, including: 
- Groundwater drainage 
- Gas or other contaminant drainage 
- Exploratory information on the geology 
- Grouting or bolting galleries for pre-support of a larger opening 
- Rock behavior/loading information for design of the larger opening 

The question of location and size of pilot tunnel always leads to a spirited discussion such that no two are ever the same. They are typically six to eight feet in general size and may be located at one or more of several locations. As one example, on the H-3 project in Hawaii there was concern that huge volumes of water might be encountered. This is a 36 ft + highway through the mountain to the opposite side of the island. Borings were limited, but did not indicate huge volumes of water. However it was common knowledge that similar sites contained water-filled cavities large enough for canoe navigation and there was concern that a similarly large volume would be found in the H-3 tunnel. The pilot tunnel, proved that water was not a major concern and at the same time provided a second, unexpected benefit: by being able to see and analyze the rock for the whole tunnel bore, the winning contractor determined that he could perform major parts of the excavation by ripping with state-of-the-art large rippers in lieu of using drill and blast techniques. Because of this evaluation he was able to shave off millions of dollars in his bid and accelerate the construction schedule by several weeks. As an added benefit, the pilot tunnel was enlarged slightly and now is the permanent access (by way of special drifts) for maintenance forces to access the entire length of tunnel with small pickups without using the active traffic lanes. 


4. Grouting

Groundwater inflow into rock tunnels almost exclusively comes in at joints, bedding planes, shears, fault zones and other fractures. Because these can be identified grouting is the most commonly used method of groundwater control. A number of different grout materials are used depending on the size of the opening and the amount of the inflow. 

The design approach is first to detect zones of potentially high groundwater inflow by drilling probe holes out in front of the tunnel face. Second, the zones are characterized and, hopefully, the major water carrying joints tentatively defined. Then, third, a series of grout holes are drilled out to intercept those joints 10 feet to a tunnel diameter beyond the tunnel face or wall. Fourth, using tube-a-machetes, cement and/or water reactive grouts are injected to seal off the water to a level such that succeeding holes are drilled as the fifth step and injected with finer, more penetrating grouts such as micro-fine or ultra-fine cements and/or sodium silicate can be injected to complete the sealing off process. Based on evaluation of the grouting success additional holes and grouting may be required to finally reduce the inflow to an acceptable level. Typically it will be found that steps four and five must be repeated, trial and error, until the required reduction in flow is achieved.


5. Freezing

On rare occasions, it may become necessary to try freezing for groundwater control in a tunnel in rock. This might occur, for example, at a shaft where it was necessary to control the groundwater locally for a breakout of a TBM into the surrounding rock. If upon beginning excavation of the TBM launch chamber it were found that the water inflow was too great the alternative control methods would be to grout as discussed above or perhaps to freeze.

The authors are not aware of any examples in the U.S. where freezing has been used in a rock tunnel, probably for a very simple reason that high inflow encountered into a rock tunnel would be concentrated at the joints present in the rock. The concentration would usually result in a relatively high velocity of flow. Such velocity would typically exceed six feet per day, the maximum groundwater velocity for which it is feasible to perform effective freezing. Thus, for the most part freezing would not be used in rock tunneling except very locally, as discussed above, and even then it might be necessary to use liquid nitrogen to perform the freezing.


6. Closed Face Machine

A closed face machine could be used for rock tunneling in high groundwater flow conditions over short lengths. In reality such a machine would be more like an earth pressure balance (EPB) machine with sufficient rock cutters installed to excavate the rock. For any extended length (greater than a few hundred feet) this would typically be uneconomical. The machine would have to grind up the rock cuttings and mix, the resulting "fines" with large quantities of conditioners and the existing water to result in a plastic material. This is necessary for the EPB to control the face in front of the bulkhead and to bring the material from its pressurized state at the face down to ambient by means of the EPB screw conveyor (See Chapter 7).

For these reasons, one would not normally plan to build a closed face rock machine but to equip an EPB with rock cutters for driving short stretches in rock within a longer soft ground tunnel. An exception to this general statement would be a rock tunnel in weak or soft rock such as chalk, marl, shale, or sandstone of quite low strength such that it essentially behaved as high strength soft ground.


7. Other Measures of Groundwater Control

The groundwater control methods discussed above probably account for more than 95% of the cases where such control is required in a tunnel in rock. For the odd tunnel (or shaft) where something else is required the designer may have to rely on experience and or ingenuity to come up with the solution. A few suggestions are given here, but really inventive solutions may have to be developed on a case-by-case basis.

Compressed Air once was a mainstay for control of groundwater or flowing or squeezing ground conditions but it is used very infrequently in modern construction. Where the tunnel (or shaft) can be stabilized by relatively low pressures (say 10 psi or less) it may still be used. However, it requires compressor plants, locks, special medical emergency preparation and decompression times.

Panning may be attractive in some cases where the water inflow is not too excessive and is concentrated at specific points and/or seams. In this case pans are placed over the leaks and shotcreted into place. Water is carried in chases or tubes to the invert and dumped into the tunnel drainage system

Drainage Fabric is now frequently used in rock tunnels. These geotechnical fabrics can be put in over the whole tunnel circumference or, more often, in strips on a set pattern or where the leaks are occurring. Fastened to the surface of the rock with the waterproof membrane portion facing into the tunnel, this fabric is then sandwiched in place by the cast-in-place concrete lining. The fibrous portion of the fabric provides a drainage pathway around and down the tunnel walls and into a collection system at the tunnel invert.

Wednesday 1 January 2014

Rock Mass Classifications


Introduction

Rock mass classification schemes have been developed to assist in (primarily) the collection of rock into common or similar groups. The first truly organized system was proposed by Dr. Karl Terzaghi (1946) and has been followed by a number of schemes proposed by others. Terzaghi's system was mainly qualitative and others are more quantitative in nature. The following subsections explain three systems and show how they can be used to begin to develop and apply numerical ratings to the selection of rock tunnel support and lining. This section discusses various rock mass classification systems mainly used for rock tunnel design and construction projects.

Terzaghi's Classification

Today rock tunnels are usually designed considering the interaction between rock and ground, i.e., the redistribution of stresses into the rock by forming the rock arch. However, the concept of loads still exists and may be applied early in a design to "get a handle" on the support requirement. The concept is to provide support for a height of rock (rock load) that tends to drop out of the roof of the tunnel (Terzaghi, 1946). Terzaghi's qualitative descriptions of rock classes are summarized in Table 1.


RQD

In 1966 Deere and Miller developed the Rock Quality Designation index (RQD) to provide a systematic method of describing rock mass quality from the results of drill core logs. Deere described the RQD as the length (as a percentage of total core length) of intact and sound core pieces that are 4 inches (10 cm) or more in length. Several proposed methods of using the RQD for design of rock tunnels have been developed. However, the major use of the RQD in modern tunnel design is as a major factor in the Q or RMR rock mass classification systems described in the following sub-sections. Readers are referred to Subsurface Investigation Manual (FHWA, 2002) for more details.


Q System

On the basis of an evaluation of a large number of case histories of underground excavations, Barton et al. (1974) of the Norwegian Geotechnical Institute proposed a Tunneling Quality Index (Q) for the determination of rock mass characteristics and tunnel support requirements. According to its developer: "The traditional application of the six-parameter Q-value in rock engineering is for selecting suitable combinations of shotcrete and rock bolts for rock mass reinforcement, and mainly for civil engineering projects". The numerical value of the index Q varies on a logarithmic scale from 0.001 to a maximum of 1,000 and is estimated from the following expression (Barton, 2002):
Where RQD is Rock Quality Designation, Jn is joint set number, Jr is joint roughness number, Ja is joint alteration number, Jw is joint water reduction factor, and SRF is stress reduction factor. It should be noted that RQD/Jn is a measure of block size, Jr/Ja is a measure of joint frictional strength, and Jw/SRF is a measure of joint stress.

Table 2 gives the classification of individual parameters used to obtain the Tunneling Quality Index Q for a rock mass. It is to be noted that Barton has incorporated evaluation of more than 1,000 tunnels in developing the Q system.

Table 2 Classification of Individual Parameters for Q System (after Barton et al, 1974)
Table 2 (Continued) Classification of Individual Parameters for Q System (after Barton et al, 1974)

Evaluation of these Q-parameters and the use of Table 2 can be illustrated considering a reach of tunnel with the following properties:
With the parameters established, Q is calculated:
For most other types of ground behavior in tunnels, the Q-system, like most other empirical (classification) methods has limitations. The Q support chart gives an indication of the support to be applied, and it should be tempered by sound and practical engineering judgment" (Palmstream and Broch, 2006). The Q-system was developed from over 1000 tunnel projects, most of which are in Scandinavia and all of which were excavated by drill and blast methods. When excavation is by TBM there is considerably less disturbance to the rock than there is with drill and blast. Based upon study of a much smaller data base (Barton, 1991) it is recommended that the Q for TBM excavation be increased by a factor of 2 for Qs between 4 and 30.

Rock Mass Rating (RMR) System 

Z.T. Bieniawski (1989) has developed the Rock Mass Rating (RMR) system somewhat along the same lines as the Q system. The RMR uses six parameters, as follows:

- Uniaxial compressive strength of rock
- RQD
- Spacing of discontinuities
- Condition of discontinuities
- Groundwater condition
- Orientation of discontinuities

The ratings for each of these parameters are obtained from Table 3. The sum of the six parameters becomes the basic RMR value as demonstrated in the following example. Table 6-9 presents how the RMR can be applied to determining support requirements for a tunnel with a 33 ft (10 m) width span.


Determination of the RMR value using Table 3 can be demonstrated in the following example:

Bieniawski, Barton and others have suggested various correlations between RMR and other parameters. For the purpose of this manual, the most applicable correlation between Q and RMR is given in:


Estimation of Rock Mass Deformation Modulus Using Rock Mass Classification

The in situ deformation modulus of a rock mass is an essential parameter for design, analysis and interpretation of monitored data in any rock tunnel project. Evaluation of the stress and deformation behavior of a jointed rock mass requires that the modulus and strength of intact rock be reduced to account for the presence of discontinuities such as joints, bedding, and foliation planes within the rock mass. Since the in situ deformation modulus of a rock mass is extremely difficult and expensive to measure, engineers tend to estimate it by indirect methods. Several attempts have been made to develop relationships for estimating rock mass deformation modulus using rock mass classifications.

The modulus reduction method using RQD requires the measurement of the intact rock modulus from laboratory tests on intact rock samples and subsequent reduction of the laboratory value incorporating the in-situ rockmass value. The reduction in modulus values is accomplished through a widely used correlation of RQD (Rock Quality Designation) with a modulus reduction ratio, EM/EL, where EL represents the laboratory modulus determined from small intact rock samples and EM represents the rock mass modulus, as shown in Figure 4. This approach is infrequently used directly in modern tunnel final design projects. However, it is still considered to be a good tool for scoping calculations and to validate the results obtained from direct measurement or other methods.
Figure 4 Correlation between RQD and Modulus Ratio (Bieniawski, 1984)

Based on the back analyses of a number of case histories, several methods have been propounded to evaluate the in situ rock mass deformation modulus based on rock mass classification. The methods are summarized in Table 4. 

* GSI represents Geological Strength Index. The value of GSI ranges from 10, for extremely poor rock mass, to 100 for intact rock. (GSI = RMR76 = RMR89 - 5 = 9LogeQ + 44)
** D is a factor which depends upon the degree of disturbance due to blast damage and stress relaxation. It varies from 0 for undisturbed in situ rock masses to 1 for very disturbed rock masses.





Source : http://www.fhwa.dot.gov