Monday 5 December 2016

LAHAN KRITIS

Konsep Lahan Kritis 
Salah satu konsep lahan kritis yang dikemukakan oleh Poerwowidodo (1990) adalah sebagai berikut:
"Lahan kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar, sebagai akibat dari solum tanah yang tipis dengan kenampakan batuan bermunculan dipermukaan tanah akibat tererosi betat dan produktivitasnya rendah". 

Selanjutnya dijelaskan pula oleh Munandar (1995) bahwa: 
"Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami amu dalam proses kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang akhimya dapat membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi perfanian, pemukiman, dim kehidupan sosial ekonomi dad daerah lingkungan pengaruhnya".

Dan berdasarkan kamu wiktionary: 

"Lahan kritis adalah lahan yang tidak mampu lagi berperan sebagai unsur produksi pertanian baik sebagai media pengatur tata air maupun sebagai perlindungan alam lingkungan".

Pertumbuhan penduduk yang pesat telah mendorong peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian dan kebutuhan lainnya. Hal ini menyebabkan penggunaan lahan kurang memperhatikan kelestariannya. Demikian juga ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengolahan lahan telah menimbulkan lahan-lahan kritis yang baru. 

Masalah lahan kritis, erosi, dan banjir akibat dari masalah demografi yang luas, dilihat dari sudut ekologi dan pertambahan penduduk yang melampaui daya dukung lingkungan (Soemarwoto, 1985). Pendapat tersebut menggambarkan bahwa jumlah penduduk dengan segala karakteristiknya sangat berbengamh terhadap kualitas lingkungan setempat. Walaupun lahan yang ada memberi kemungkinan besar untuk intensifikasi dan menyerap jumlah penduduk, tetapi pada akhirnya lahan-lahan yang tersedia semakin menyusut dan tidak lagi cukup bagi kebutuhan manusia yang makin bertambah.

Penyebab Lahan Kritis
Adapun faktor–faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis adalah :
  1. Penebangan liar (illegal logging).
  2. Kebakaran hutan.
  3. Pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak berasaskan kelestarian.
  4. Penataan zonasi kawasan belum berjalan.
  5. Pola pengelolaan lahan tidak konservatif.
  6. Pengalihan status lahan (berbagai kepentingan).
  7. Terjadinya longsor dan letusan gunung berapi.

Parameter Lahan kritis 
Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah topografi, faktor tanah, tingkatan erosi, dan vegetasi penutup lahan: Topografi Notohadiprawiro (1977) mengemukakan: 

"Unsur-unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap timbulnya lahan kritis adalah kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk dan arah lereng. Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan mengendalikan proses-proses pembentukan tanah. Kemiringan lereng juga merupakan salah satu faktor yang menentukan perkembangan tanah akibat pengaruh lingkungan fisik dan hayati. Selain itu, kemiringan lereng dapat mencirikan bentuk dan sifat tubuh tanahnya, sehingga kemiringan lereng selalu digunakan untuk menyatakan kemampuan tanah". Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. 

Kemiringan lereng ini sangat memepengaruhi terhadap kecepatan aliran permukaan yang berakibat pada besar kecilnya energi angkut air. Makin besar kemiringan lerengnya, semakin banyak jumlah butir-butir tanah yang terpercil ke bawah oleh tumbukan air hujan. Parameter topografi lainnya adalah panjang lereng yang menurut konsep Arsyad (1989) adalah:

"Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran pemukaan sampai pada suatu titik di mana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau kemiringan lereng yang berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Semakin panjang lereng, maka jumlah erosi total akan makin banyak". 

Bentuk lereng juga mempunyai pengaruh terhadap proses erosi yang di lapangan umumnya berbentuk cembung ataupun berbentuk cekung. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa erosi lembar lebih hebat terjadi pada lereng permukaan cembung. Sedangkan pada lereng permukaan cekung lebih cenderung membentuk erosi alur atau parit (Suripin, 2002).

Dampak erosi dapat dirasakan secara langsung maupun secara tidak langsung, baik di tempat terjadinya erosi ataupun di tempat lain dapat diuraikan pada tabel berikut:


Klasifikasi Lahan Kritis 
Lahan kritis merupakan lahan yang tidak produktif dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian tanpa usaha atau input yang tinggi, yang dicirikan oleh proses pengikisan yang sangat cepat, sehingga lapisan tanah semakin lama semakin tipis serta lapisan lahan tersebut mengalami penurunan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian dan sosial ekonomi. 

Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan 
a. Lahan Kritis 
Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif yang tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian tanpa merehabilitasi terlebih dahulu. Ciri lahan kritis diantaranya adalah:
  1. Telah terjadi erosi kuat, sebagian sampai pada gully erosio
  2. Lapisan tanah tererosi habis
  3. Kemiringan lereng lebih besar dari 30% 
  4. Tutupan lahan sangat kecil ( < 25 % ) bahkan gundul 
  5. Tingkat kesuburan tanah sangat rendah
b. Lahan Semi Kritis 
Lahan semi kritis adalah lahan yang kurang produktif dan masih digunakan untuk usaha tam dengan produksi yang rendah. Ciri lahan semi kritis diantaranya :
  1. Telah mengalami erosi permukaan sampai erosi alur
  2. Mempunyai kedalaman efektif yang dangkal ( < 5 cm)
  3. Kemiringan lereng > 10 %
  4. Persentase penutupan lahan 50 - 75 % 5. Kesuburan tanah rendah
c. Lahan Potensial Kritis 
Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih produktif untuk pertanian tanaman pangan tetapi apabila pengolahannnya tidak berdasarkan konservasi tanah yang baik, maka akan cenderung rusak dan menjadi semi kritis/lahan kritis. Ciri lahan potensial kritis adalah : 
  1. Pada lahan belum terjadi erosi, namun karena keadaan topografi dan pengolahan yang kurang tepat maka erosi dapat terjadi bila tidak dilakukan pencegahan.
  2. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam (>20 cm) 
  3. Persentase penutupan lahan masih tinggi ( > 70% ).
  4. Kesuburan tanah mulai dari rendah sampai tinggi 


Lahan Kritis Berdasarkan Faktor Penghambatnya 
a. Lahan Kritis Fisik 
Tennasuk lahan kritis fisik dalam kriteria lahan kritis merupakan kondisi lahm yang secara fisik mengalami kerusakan, sehingga dalam mengusahakan tanah diperlukan investasi yang cukup besar. Ciri-cirinya:
  1. Tanah memiliki kedalaman efektif dangkal atau pada kedalaman tanah tenentu dijumpai lapisan penghambat perhunbuhan tanaman, lapisan kerikil, lapisan batu, lapisan cadas, lapisan batuan, akumulasi penghambat lainnya.
  2. Pada bagian tertentu atau keseluruhan dapat terlihat adanya lapisan cadas dipetmukaan.
  3. Adanya batuan atau pasir atau abu yang melapisi tanah ataupun material lain sebagi akibat letusan gunung, banjir bandang ataupun bencana alam lainnya.
b. Lahan Kritis Kimiawi 
Ciri menonjol dari lahan kristis kimia adalah tanah bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan toksinitasnya tidak lagi memberikan dukungan positif bila diusahakan seabagai tanah pertanian. Ciri-ciri lahan kritis kimiawi:
  1. Tanah menunjukkan penurunan produktivitas atau memberikan produksi yang rendah.
  2. Adanya gejala-gejala keracunan pada tanaman sebagi akibat akumulasi racun dan garam-garam dalam tanah.
  3. Adanya gejala-gejala defesiensi unsur hara pada tanaman.
c. Lahan Kritis Sosial Ekonomi
Lahan kritis sosial ekonomi terjadi pada tanah / lahan terlantar akibat adanya salah satu atau beberapa faktor sosial ekonomi sabagai kendala dalam usaha-usaha pendayagunaan tanah tersebut. Termasuk dalam pengertian lahan kritis sosial ekonomi adalah lahan tidur yang sebenarnya masih dapat digunakan untuk usaha pertanian dan tingkat kesuburannya masih relatif ada. Karena tingkat sosial ekonomi penduduk rendah, maka lahan tersebut ditinggalkan oleh penggarapnya dan akan tumbuh menjadi padang alang-alang, semak belukar atau bentuk lain sehingga lahan tersebut terlantar. 


d. Lahan Kritis Hidroorologis 
Lahan kritis hidroorologis menunjukkan keadaan sedemikian rupa dimana lahan tersebut tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagi pengatur tata air. Hal ini disebabkan terganggunya daya penahan, penghisap dan penyimpan air. Kritis hidroorologis dapat dilihat dilapangan menurut banyak sedikitnya vegetasi yang tumbuh diatasnya (di permukaan lahan). Sebagian besar jenis vegetasi tidak mampu lagi tumbuh dan berkembang baik pada keadaan kritis hidroorologis ini. Kritis hidroorologis di lapangan dapat juga dilihat sebagai lahan tanpa penutup, dengan vegetasi penutup dalam jumlah yang sedikit, dan adanya keterbatasan jumlah jenis vegetasi yang dapat tumbuh diatasnya. 

Berdasarkan sebab dan lokasinya lahan kritis atau tanah rusak digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Tanah rusak golongan A, terdapat di daerah-daerah berpenduduk padat dengan rata-rata lahan usaha tani relatif sempit, keadaan ini memaksa para petani mencari tanah yang seharusnya tidak boleh ditanami tanaman semusim. Letak tanah marjinal demikian umumnya berada di tepi pantai atau lereng gunung. Tanah di pantai diperoleh dengan mengeringkan rawa-rawa yang ada akibatnya kadar garam dalam tanah yang dijadikan sawah masih terlalu tinggi, sehingga tidak bisa menghasilkan tanaman pangan. Untuk memperbaiki tanah yang terlalu asin ini tidak ada jalan lain merendam kembali tanah tersebut dengan air tawar, sehingga garamnya hanyut. Sedangkan tanah-tanah yang berada di lereng gunung yang terjal, akan cepat mengalami pengikisan apabila ditanami tanaman semusim. Tanah rusak yang terdapat diatas ketinggian 900 m dpl, memperlihatkan tanda-tanda pengikisan yang bemt sekali, sehingga mengakibatkan lapisan keras (padas) yang ada dibawahnya nampak di permukaan. Memperbaiki tanah demikian tiada jalan lain dengan sengkedan dan menanaminya dengan pohon-pohon yang dapat melindungi tanah, yaitu pohon-pohon tahunan.
  2. Tanah rusak golongan B, terdapat di daerah-daerah yang berpenduduk jarang. Berada pada ketinggian rata-rata 50 meter dari permukaan laut. Kesuburan tanah kurang, sifat fisik tanah seperti: kedalaman efektifnya, tekstumya, latimnya bagus. Jarang terjadi proses pengikisan secam serius. Tanah tersebut umumnya ditumbuhi ilalang atau ilalang bercampur belukar. Sebenamya tanah ini dapat manghasilkan lagi, asal dipenuhi kebutuhan pupuk dan perbaikan sistem penga'van. 
  3. Tanah rusak golongan C, terdapat di daerah pertambangan. Tanah ini di rusak dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam jangka pendek dari kegiatan eksploitasi bahan tambang. Setelah beberapa tahun bisa dimanfaatkan lagi, namun biasanya membutuhkan program rehabilitasi lahan secara serius. Tidak kalah pentingnya adalah tanah rusak sebagai akibat kebakaran hutan atau pembuatan arang kayu. Tanah-tanah tersebut umumnya kehilangan nutrisi (hara) dan daya serap air sehingga sumber-sumber air dan hara tanah menjadi mati dan akhirnya tanah menjadi tandus (Sandy, 1980). 
Usaha-Usaha Penanggulangan Lahan Kritis 
Supaya lahan kritis ini menjadi produktif kembali khususnya bagi pengusahaan pertanian, maka diperlukan upaya-upaya penanggulangan yang baik. Beberapa usaha mengendalikan lahan kritis atau mengembalikan fungsi lahan pada keadaan semula di antaranya: 

a. Penghijauan dan Penghutanan Kembali (Reboisasi) 
Penghiajuan adalah usaha pembentukan tanaman di atas tanah-tanah gundul dan kritis di luar kawasan hutan, guna menahan air dan mencegah erosi. Penghijauan juga bisa diartikan sebagai kegiatan tanam-tanaman dalam kawasan di luar hutan baik tanah negara maupun tanah petani dan sebagainya. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kembali atau meperbaiki daya guna pemanfaatan sumber kekayaan tanah dan air di dalam maupun di luar kawasan hutan. Apabila dilakukan dengan baik, usaha penghijauan dan penghutanan kembali ini cukup efektif untuk mengurangi kerusakan pada tanah. 

b. Konservasi Tanah
Konservasi mengandung pengertian adanya unsur pelestarian, pengawetan sesuatu yang masih ada. Salah satu upaya konservasi adalah dengan melakukan pengolahan tanah yang baik. Upaya penanggulangan lahan kritis merupakan satu kesatuan antara faktor fisis dan faktor sosial. Pengolahan tanah yang akan merusak tanah, intensitas kerusakan ini tergantung sistem pengolahan lahan, alat yang dipakai, dan intensitas pengolahan tanah (Purwowidodo, 1982). Dalam hubungan dengan erosi, maka pengolahan tanah akan merusak agregasi tanah akibat daya rusak mekanis dari alat-alat pengolahan tanah atau karena terjadi penurunan kandungan bahan organik tanah, yang besar peranannya dalam memelihara agregasi tanah. Penurunan agregasi tanah ini, akan mempengaruhi produktivitas lahan. 

Kita menyadari bahwa sulit untuk mengendalikan dan menanggulangi kerusakan tanah yang pada akhirnya menimbulkan lahan kritis. Apabila tanah kritis ini diupayakan, bisa ditanggulangi dengan cara konservasi tanah. (Purwowidodo, 1982). Prinsip konservasi yang dikemukakan di atas adalah mengatur hubungan antara intensitas hujan, kapasitas infiltrasi tanah, dan aliran permukaan tanah. 


Berdasarkan hal di atas maka ada tiga cara pendekatan dalam menanggulangi tanah kritis, yaitu:

  1. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar tahan terhadap penghancuran agregasi tanah dan pengangkutan serta meningkatkan daya serap air di permukaan tanah.
  2. Menutup permukaan tanah, baik dengan tumbuhan atau sisa tumbuhan agar terlindung dari daya perusak butir hujan yang jatuh.
  3. Mengatur aliran permukaan sehingga dapat mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak (Purwowidodo, 1982).


Sumber: 
  1. Degradasi Lahan Sub Daerah Aliran Sungai (SUB DAS) Citarik Hulu Di Kab Bandung dan Sumedang, oleh  Dr. Wanjat Kastolani, M.Pd
  2. Pengertian Lahan Kritis, oleh Forum Hijau Indonesia: 2012
  3. Pengertian Lahan Kritis, oleh Kamus Wiktionary: 2011

Monday 21 November 2016

METODE PELEDAKAN DI DALAM TEROWONGAN



    1.  Pola Lubang Tembak
Peledakan didalam terowongan selalu dimulai dengan satu atau lebih peledakan pemula untuk menciptakan satu gua atau bolongan pada permukaan terowongan yang akan ditembus. Gua atau bolongan ini disebut “Cut” yang berfungsi sebagai bidang bebas terhadap paledakan berikutnya. “Cut” ini kemudian diperbesar dengan peledakan dua atau lebih susunan lubang tembak “easer”. Peledakan berikutnya atau yang terakhir adalah peledakan lubang “trimmer” yang menentukan bentuk dari terowongan.
Efisiensi peledakan didalam terowongan sangat tergantung pada sukses tidaknya peledakan “cut”. Cut dapat dibuat melalui beberapa pola lubang tembak. Nama-nama pola ini disebut sesuai dengan jenis “cut” yang dibentuk. Dalam memilih tipe “cut” yang sesuai maka pertimbangan harus didasarkan atas :
·         Kondisi batuan yang akan ditembus
·         Bentuk dan ukuran terowongan
·         Kemajuan yang ditargetkan, yaitu besar kemajuan setiap ronde peledakan yang ditentukan oleh kedalaman daripada “cut”.
Jenis-jenis pola lubang tembak yang sering dan pernah dipakai pada peledakan didalam terowongan yaitu:
a.       Drag Cut
Pola ini sesuai dipakai pada batuan yang mempunyai struktur bidang perlapisan, misalnya batuan serpih. Lubang “cut” dibuat menyudut terhadap bidang perlapisan pada bidang tegak lurus, sehingga batuan akan terbongkar menurut bidang perlapisan. “Cut” ini cocok untuk terowongan berukuran kecil (lebar 1,5-2m) dimana  kemajuan yang besar tidak terlalu penting.
b.      Fan Cut
Pada “Fan Cut” lubang tembaknya dibuat menyudut dan berada pada bidang mendatar. Setelah “cut” diledakkan maka batuan yang ada diantara dua baris lubang “cut” akan terbongkar. Selanjutnya lubang-lubang “easer” dan “trimmer” akan memperbesar bukaan “cut” sampai kepada bentuk geometri daripada terowongan. Cut ini cocok dipakai pada batuan yang berstruktur berlapis-lapis.
c.       V-Cut
“V-Cut” sering dipakai dalam peledakan didalam terowongan. Lubang tembak pada pola ini diatur sedemikian rupa sehingga tiap dua lubang membentuk V. Sebuah “Cut” dapat terdiri dari dua atau tiga pasang V, masing-masing pada posisi horizontal. Lubang-lubang tembak pada “cut” biasanya dibuat membentuk sudut 60o terhadap permukaan terowongan. Dengan demikian panjang kemajuan tergantung pada lebar daripada terowongan karena panjang batang bor terbatas pada lebar tersebut. Satu atau dua buah lubang tembak yang lebih pendek disebut “burster” dan dapat dibuat ditengah “cut” untuk memperbaiki hasil fragmentasi.
d.      Pyramid Cut
“Pyramid Cut” terdiri dari 4 buah lubang tembak yang saling bertemu pada satu titik ditengah terowongan. Pada batuan yang keras banyaknya lubang “cut” ditambah hingga menjadi 6 buah.
e.       Burn Cut
Pola ini berbeda dengan “cut” yang lain. Perbedaannya yaitu pada “cut” lain lubang cut membentuk sudut satu sama lain sedang dalam “burn cut” lubang “cut” dibuat sejajar satu sama lain dan tegak lurus terhadap permukaan terowongan. Pada pola ini beberapa lubang “cut” tidak diisi dengan bahan peledak yang berfungsi sebagai bidang bebas terhadap lubang “cut” yang diisi dengan bahan peledak. Lubang “cut” yang kosong dapat lebih dari satu dan ukurannya lebih besar dari lubang “cut” yang diisi. Keuntungan dari pada “burn cut” adalah :
·         Kemajuan tidak lagi tergantung pada lebar terowongan karena semua lubang dibuat sejajar dengan sumbu terowongan
·         Proses pemboran menjadi lebih mudah.

    2. Lubang “easer” dan Trimmer”
Lubang “easer” dibuat mengelilingi “cut” untuk memperbesar bukaan “cut” sehingga lubang “trimmer” dapat membuat bentuk daripada terowongan. Untuk terowongan berukuran biasa, satu ronde peledakan terdiri dari sekitar 40 buah lubang tembak dimana setiap lubang tembak membuat bukaan seluas sekitar 0,25-0,5 m2.
Banyaknya lubang “easer” serta penempatannya tergantung kepada pola lubang “cut”. Pada pola “burn cut” penempatan lubang “easer” tidak boleh terlalu dekat pada “cut” untuk menghindari terjadinya ledakan premature daripada lubang easer. Disarankan untuk menempatkan lubang easer antara 30-50 cm dari “cut”.
Lubang trimmer pada akhirnya akan membuat bentuk dari terowongan. Banyak dan posisi daripada lubang “trimmer” tergantung daripada ukuran terowongan, kekerasan batuan, dan fragmentasi yang disesuaikan dengan system pemuatan.

    3. Sistem Kemajuan
Pada prinsipnya pembuatan terowongan sama dengan shaft, hanya arahnya saja yang berbeda yaitu horizontal. Apabila pembuatan lubang bukaan sudah lebih besar daripada 45o maka ini sudah dinamakan shift. Sistem kemajuan tergantung kepada alat bor yang tersedia, kondisi batuan dan sistem penyangga yang dipergunakan, tetapi cara yang umum dipakai dalam pembuatan terowongan terdiri dari dua system yaitu :
Cara “full face”
Cara “top heading and bench”
Dalam cara “full face” seluruh permukaan lubang bukaan dibor dengan sistem pola pemboran tertentu dan kemudian sekaligus diledakkan, sedangkan cara pembuatan “bench method”, dimana lubang bukaan dibuat menjadi dua bagian dalam pemboran dan peledakan yaitu bagian atas dan bagian bawah. Pekerjaan peledakan dilakukan pertama pada bagian atas.

     4. Perimeter Blasting
Perimeter Blasting adalah proses peledakan yang dilaksanakan dengan sangat hatu-hati. Untuk mendapatkan permukaan akhir lubang bukaan yang tepat dan kondisi batuan disekitar lubang tersebut tidak mengalami kerusakan. Maksud dari “perimeter blasting” tidak hanya untuk memperoleh permukaan bukaan yang rata tetapi juga untuk menjaga agar daerah disekitar permukaan tidak mengalami keretakan dan kerusakan selama bukaan tersebut digunakan.
Perimeter Blasting berguna untuk :
·         Membuat rata permukaan terowongan
·         Membuat agar permukaan terowongan lebih stabil
·         Mengurangi “over break”
·         Mengurangi pemakaian beton
·         Mengurangi retakan dan masuknya aur tanah kedalam terowongan.
Dikenal dua teknik untuk pelaksanaan “perimeter blasting” yaitu:
·         “pre-splitting”
·         smooth blasting
Dasar kedua teknik tersebut adalah pada pengisian bahan peledak dengan diameter yang lebih kecil dari diameter lubang tembak sehingga bahan peledak tidak langsung bersentuhan dengan dinding lubang tembak atau disebut dengan istilah “decoupled charge”. Lubang-lubang ini dibuat pada kontur akhir terowongan yang direncanakan dan diledakkan secara bersama-sama. Perbedaan “pre-spliting” dan “smooth blasting” adalah pada peledakan daripada lubang-lubang kontur ini. Pada “pre-splitting” lubang kontur diledakkan sebelum peledakan utama sedang pada “smooth blasting” lubang kontur diledakkan setelah peledakan utama. Perbedaan lain adalah dalam hal jarak lubang tembak (spacing) dimana pada presplitting lubang kontur lebih rapat letaknya satu sama lain. Pada pre-splitting jarak lubang kontur biasanya antara 8-12 kali diameter lubang dan jarak antara lubang tembak dengan bidang bebas (burden) adalah tak terterhingga. Konsentrasi isian bahan peledak (dalam kg per meter) pada “pre-splitting” dan “smooth blasting” adalah sama.